Gulma ialah tanaman yang tumbuhnya tidak diinginkan. Gulma di suatu tempat mungkin berguna sebagai bahan pangan, makanan ternak atau sebagai bahan obat-obatan. Dengan demikian, suatu spesies tumbuhan tidak dapat diklasifikasikan sebagai gulma pada semua kondisi. Namun demikian, banyak juga tumbuhan diklasifikasikan sebagai gulma dimanapun gulma itu berada karena gulma tersebut umum tumbuh secara teratur pada lahan tanaman budidaya (Sebayang, 2005).

            Gulma dari golongan monokotil pada umumnya disebut juga dengan istilah gulma berdaun sempit atau jenis gulma rumput-rumputan. Sedangkan gulma dari golongan dikotil disebut dengan istilah gulma berdaun lebar. Ada pula jenis gulma lain yang berasal dari golongan teki-tekian (atau golongan sedges) (Moenandir, 1993).

Pengamatan komposisi gulma berguna untuk mengetahui ada tidaknya pergeseran jenis gulma yaitu keberadaan jenis gulma pada suatu areal sebelum dan sesudah percobaan/perlakuan. Some Dominance Ratio (SDR) atau Nisbah Jumlah Dominan (NJD) berguna untuk menggambarkan hubungan jumlah dominansi suatu jenis gulma dengan jenis gulma lainnya dalam suatu komunitas, sebab dalam suatu komunitas sering dijumpai spesies gulma tertentu yang tumbuh lebih dominan dari spesies yang lain. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pengendalian gulma dilakukan antara lain adalah jenis gulma dominan, tumbuhan budidaya utama, alternatif pengendalian yang tersedia serta dampak ekonomi dan ekologi (Mas’ud, 2009).

Biomassa gulma dikelompokkan berdasarkan jenisnya, spesies gulma diidentifikasi, dihitung spesies yang ada dan terakhir, tiap spesies secara terpisah dioven  atau dikeringkan pada suhu 70 ° C sampai mencapai berat konstan. Analisis vegetasi gulma dilakukan dengan menghitung nilai SDR pada setiap petak percobaan. Nilai SDR didapat-kan dengan menghitung setiap jumlah spesies gulma yang terdapat pada petak contoh (Anwar, 2011).

            Konsepsi dan  metode analisis vegetasi sesungguhnya sangat bervariasi, tergantung keadaan vegetasi itu sendiri dan tujuannya. Misalnya apakah ditujukan untuk mempelajari tingkat suksesi, apakah untuk evaluasi hasil suatu pengendalian gulma. Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan struktur dan komposisi vegetasi. Untuk areal yang luas dengan vegetasi semak rendah misalnya, digunakan metode garis (line intersept), untuk pengamatan sebuah contoh petak dengan vegetasi “tumbuh menjalar” (cpeeping) digunakan metode titik (point intercept) dan untuk suatu survei daerah yang luas dan tidak tersedia cukup waktu, estimasi visual (visual estimation) mungkin dapat digunakan oleh peneliti yang sudah berpengalaman. Juga harus diperhatikan keadaan geologi, tanah, topografi, dan data vegetasi yang mungkin telah ada sebelumnya, serta fasilitas kerja/keadaan, seperti peta lokasi yang bisa dicapai, waktu yang tersedia, dan lain sebagainya; semuanya untuk memperoleh efisiensi (Tjitrosoedirdjo, dkk., 1984).

Tujuan analisis vegetasi adalah sebagai berikut (Prawoto, dkk, 2008) :

1.    Mengetahui komposisi jenis gulma dan menetapkan jenis yang dominan. Biasanya hal ini dilakukan untuk keperluan perencanaan, misalnya untuk memilih herbisida yang sesuai.

2.    Untuk mengetahui tingkat kesamaan atau perbedaan antara dua vegetasi. Hal ini penting misalnya untuk membandingkan apakah terjadi perubahan komposisi vegetasi gulma sebelum dan setelah dilakukan  pengendalian dengan cara tertentu.

Koefisien komunitas digunakan untuk menilai adanya variasi atau kesamaan dari berbagai komunitas dalam suatu area. Menurut Wirjahardja dan Pancho (1975), tingkat kesamaan atau perbedaan komuniti gulma pada suatu daerah dapat dibandingkan dengan menghitung “Coefficient of Community” atau “Coefficient of Similarity”. Sebagai contoh persentase koefisen komunitas (C) mempunyai nilai yang kecil (dibawah 70%), artinya banyak perbedaan keadaan vegetasinya, jadi perlu adanya perbedaan dalam strategi pengendalian gulma. Data yang diperoleh dari analisis vegetasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu data yang menunjukkan bagaimana suatu jenis tumbuhan tersebar dan berkelompok. Sedangkan data kualitatif merupakan data yang menyatakan jumlah, ukuran, berat basah/kering suatu jenis, dan luas daerah yang ditumbuhinya (Barus, 2003).

Daun gulma daun lebar dibentuk pada meristem apikal yang sangat sensitif pada senyawa kimia. Stomata pada daun gulma daun lebar banyak terdapat pada daun bagian bawah yang memungkinkan cairan herbisida dapat masuk. Gulma daun lebar memiliki bentuk daun yang lebih luas, sehingga luas permukaan daun yang kontak dengan senyawa limbah sagu lebih besar. Gulma daun sempit berkedudukan vertikal dan memiliki luas permukaan daun lebih kecil. Analisis vegetasi gulma menunjukkan bahwa gulma daun sempit merupakan gulma yang dominan dibandingkan gulma daun lebar. Hal ini disebabkan karena gulma daun sempit umumnya bereproduksi secara vegetatif dengan stolon dan rhizome yang mampu bertahan di dalam tanah dan akan tumbuh kembali jika kondisi sudah baik (Syakir, 2008).

 

Metode kuadrat dilakukan dengan kawat  50 × 50 cm persegi digunakan untuk mengukur kepadatan dan berat kering gulma pada 30, 60 dan 75 hari setelah tanam (HST). Kawat persegi itu ditempatkan di empat lokasi terpilih secara acak pada setiap plot dan semua gulma dikumpulkan. Gulma yang sudah dicabut (dikumpulkan) diidentifikasi, dihitung spesies, biomassa ditimbang setelah pengeringan pada suhu 70 ° C selama 72 jam dalam oven listrik. Kepadatan absolut dari masing-masing spesies dicatat. Gulma sebagai kontrol diperkirakan sebagai persentase gulma yang mati oleh perlakuan herbisida tertentu di bandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan herbisida. Spesies gulma yang dominan ditentukan berdasarkan jumlah rasio dominan (SDR), nilai-nilainya dinyatakan dalam persentase (Rahman, M. et al., 2012)


 

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, P., Abdul S. J., Adam P., Ahmad S., Azmi M. and Abdul H. 2011. Seeding method and rate influence on weed suppression in aerobic rice. African Journal of Biotechnology Vol. 10(68), pp. 15259-15271

Barus, E. 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Kanisius. Jakarta.

Mas’ud, hidayati. 2009. Komposisi dan efisiensi pengendalian gulma pada pertanaman kedelai dengan penggunaan bokashi . Jurnal Agroland 16 (2) : 118 – 123.

Moenandir, J. 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem Pertanian. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Prawoto, A.A., dkk. 2008. Panduan Lengkap Kakao : Manajenem Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rahman, M., Abdul Shukor Juraimi, Jaya Suria, A. S. M., Azmi B. Man and Parvez Anwar. 2012. Response of weed flora to different herbicides in aerobic rice system. Journal of Scientific Research and Essays Vol. 7(1), pp. 12-23.

Sebayang, H. T., 2005. Gulma dan Pengendaliannya Pada Tanaman Padi. UnitPenerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang

Syakir, Muhammad et al. 2008. Pemanfaatan limbah sagu sebagai pengendalian gulma pada lada perdu. Jurnal Littri Vol. 14 No. 3 : 107 – 112.

Tjitrosoedirdjo, S., H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo., 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan.       PT Gramedia, Jakarta.